Skor.Co.Id – Akuisisi Dorna Sports oleh Liberty City dalam kesepakatan senilai 4,1 miliar dolar AS (66 triliun rupiah) membuat MotoGP mengharapkan jejak kesuksesan yang sama seperti Formula 1.
Sebabnya adalah keberhasilan Liberty City mengangkat popularitas F1 ke level yang baru dan sukses menembus Amerika Serikat yang menguasai pangsa pasar konsumen di dunia.
Saat MotoGP malu-malu mengungkap jumlah penonton GP Americas, F1 memamerkan angka penonton GP Amerika Serikat yang mencapai 432 ribu penonton di trek yang sama tahun lalu.
MotoGP bukannya tak berusaha. Beberapa inovasi di F1 telah diadopsi, termasuk penambahan lomba sprint yang mengubah tradisi.
Selain itu soal balapan MotoGP lebih mampu menyajikan persaingan langsung yang lebih seru di lintasan daripada saudara tiri barunya.
Drama? Banyak. Lebih-lebih dengan banyaknya pembalap yang bisa menang seperti Francesco Bagnaia, Maverick Vinales, Jorge Martin, hingga bocah ajaib Pedro Acosta.
Namun, apa yang masih kurang? Mantan juara balap motokros Amerika Serikat, Roland Sands, mencoba memberikan pendapatnya.
“Orang-orang Amerika tidak akan peduli dengan orang-orang Eropa memutari sirkuit dengan motor sampai ada alasan untuk melakukannya,” ucap Sands, dilansir dari CNN.
“Anda harus membangun karakter, perasaan mengetahui siapa di balik helm dan Liberty telah melakukan pekerjaan fantastis tidak hanya dengan pembalap tetapi kisah di belakang timnya.”
MotoGP sudah mencoba melakukannya dengan membuat serial dokumenter MotoGP Unlimited pada 2022 yang berlanjut dengan berbagai video di balik layar yang tayang di Youtube.com.
Meski demikian, ada lebih banyak percakapan di dalamnya yang dilakukan dalam bahasa Italia atau Spanyol sehingga memerlukan terjemahan.
Ini tidak terlepas dari fakta bahwa sebagian besar tim dan pembalap di MotoGP berbasis di kedua negara tersebut sehingga lebih nyaman berkomunikasi dengannya.
Sementara di F1, kebanyakan tim yang berlomba bermarkas di Negeri Raja Charles. Komunikasi dalam radio tim pun dilakukan dengan bahasa Inggris.
MotoGP? Bahkan dalam sesi setelah lomba bagi pembalap tiga besar jarang terdengar bincang-bincang dalam bahasa Inggris kecuali jika ada penutur asli seperti Brad Binder atau Jack Miller.
Bagi orang-orang Indonesia yang terbiasa menonton film dengan subjudul, ini tidak menjadi masalah. Namun, tidak demikian halnya dengan publik Negeri Paman Sam.
“Kalau Anda ingin melakukannya untuk pasar Amerika, pertunjukkannya harus berlangsung dalam bahasa Inggris,” Sands.
“Itu nomor satu karena tidak ada seorang pun di sini yang mau membaca subjudul.”
“Anda perlu pengembangan karakter, dan membuatnya menjadi sebuah pesta, di titik di mana orang-orang menontonnya di bar.”
“Maksud saya, sekarang orang-orang akan menonton sepak bola di sini. Mereka bangun lebih pagi dan pergi ke bar, meminum bir.”
Pilihannya adalah mendengar pembalap berbicara dalam bahasa yang mudah dimengeri atau melihat interaksi natural di antara mereka?
Mengenai tembok bahasa ini, pendapat berbeda diungkapkan Direktur Komersial MotoGP, Dan Rossomondo, yang kebetulan orang AS.
Pria yang pernah ikut membangun NBA itu menunjuk meningkatnya minat terhadap sepak bola di negara asalnya. Seperti halnya MotoGP, sepak bola berpusat di Eropa.
“Kapan Anda terakhir kali mendengar Lionel Messi melakukan wawancara dengan bahasa Inggris? Jadi itu bagian dari kesempatan di AS,” ucapnya.
Menurut Rossomondo, yang diperlukan MotoGP adalah pembalap yang karismatik seperti Valentino Rossi yang pensiun pada 2021.
Isu mencari penerus Rossi telah menyeruak sejak The Doctor gantung helm. Saat ini, Pedro Acosta disebut sebagai calon ikon MotoGP yang baru.
“Apa yang Rossi bahwa ke olahraga ini? Kenapa dia begitu fantastis dan kenapa dia membantu MotoGP berkembang?” ucap Rossomondo.
“Ini seperti, orang-orang peduli dengannya, dia menarik, lucu, merayakan kemenangannya, dia memberi orang alasan visual untuk menyukainya.”